Sabtu, 23 April 2011

soal ipu

Soal Jawab Ilmu Perundang-undangan

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

SOAL JAWAB

UTS

1. Mengapa ilmu perundang-undangan berkembang di negara dengan sistem civil law? Dan bagaimana sistematika Ilmu Pengetahuan Perundang-undang?

Jawab:

Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan berkembang terutama di negara-negara Eropa, misalnya di Jerman, Belanda dan negara-negara lain sekitarnya yang menganut sistem hukum civil law. Sedangkan di negara-negara dengan sistem common law, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan tidak berkembag subur. Hal ini disebabkan karena pertama, sistem kehidupan hukum di negara dengan sistem common law tidak membutuhkan perundang-undangan sebagai sumber yang utama bagi pembentukan hukum, dan kedua peraturan perundang-undangan tidak ditempatkan sebagai instrumen yang terpenting bagi perwujudan kebijaksanaan negara dan pemerintah dalam melakukan pengubahan tata kehidupan masyarakat. Di negara dengan sistem common law yang tumbuh hanyalah bagian-bagian atau sempalan-sempalan dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, interpretasi atau penafsiran perundang-undangan, dan metode pembentukan perundang-undangan. Indonesia mengikuti sistem civil law.

Menurut A Hamid S. Attamimi bahwa apa yang dikemukakan oleh Burkhardt Krems sebagai Gesetzgebungswissenschaft, diterjemahkan sebagai Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan mengandung dua sisi yakni Gesetzgebungstheorie yang diterjemahkan dengan Teori Perundang-undangan sebagai cabang yang berorientasi pada kejelasan dan kejernihan pemahaman dan yang bersifat kognitif serta Gesetzgebungslehre yang diterjemahkan dengan Ilmu Perundang-undangan sebagai cabang yang berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif.






2. Apa yang dimaksud dengan negara hukum?

Jawab:

Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental. antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan Karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada Zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasi kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengkata. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam sistem continental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit administraf “ dan inti dari “droit administraf“ adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat, di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi).

Menurut Ismail Suny bahwa sifat negara hukum itu ialah dimana alat-alat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat oleh aturan-aturan yang ditentukan lebih dahulu oleh alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan-aturan itu. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dengan demikian dalam suatu negara hukum segala kehidupan, baik kehidupan bernegara, kehidupan berbangsa, maupun kehidupan bermasyarakat harus didasarkan pada hukum. Artinya, segala tindakan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan.

Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat dua belas prinsip negara hukum, yaitu:

a. Supremasi Konstitusi (supremacy of law),

b. Persamaan dalam Hukum (equality before the law),

c. Asas Legalitas (due process of law),

d. Pembatasan Kekuasaan (limitation of power),

e. Organ Pemerintahan yang Independen,

f. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary),

g. Peradilan Tata Usaha Negara (administrative court),

h. Peradilan Tata Negara (constitutional court),

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats),

j. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat),

k. Transparansi dan

l. Kontrol Sosial.

3. Apa yang dimaksud dengan norma dan apa perbedaan antara norma hukum dengan norma lainnya?

Jawab:

Istilah norma yang berasal dari bahasa Latin, dalam bahasa Arab disebut kaidah, dan dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan pedoman, patokan atau aturan. Norma mula-mula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma tu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Dalam setiap norma mengandung apa yang harus dilakukan, das sollen/ought to be/ought to do. Apa yang harus dilakukan dapat berupa perintah maupun larangan.

Jenis-jenis norma di Indonesia antara lain norma agama, norma adat, norma moral, dan norma hukum. Norma hukum dibedakan antara norma hukum tertulis dan norma hukum tidak tertulis. Norma hukum tertulis dibedakan dari norma yang lainnya karena didalamnya terdapat beberapa ciri, yakni:

1. bersifat heteronom, yakni datangnya dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri, bisa diikuti sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara;
2. proses pembuatanya mengikuti tata cara tertentu;
3. dibuat oleh pejabat atau lembaga negara yang berwenang;
4. mengikuti hierarkhi tertentu;
5. bersifat abstrak dan umum.

Dari segi adressat atau alamat yang dituju maka norma hukum tertulis dibedakan antara norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum umum adalah norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak, sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang tertentu.

Dari segi pengaturannya, norma hukum tertulis dibedakan antara norma hukum abstrak dan norma hukum konkret. Norma hukum abstrak adalah norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya, sedangkan norma hukum konkret adalah norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata.

Dari segi daya berlakunya, norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum yang berlaku sekali selesai (einmahlig) dan norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig). Norma hukum yang bersifat einmahlig adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum tersebut selesai. Sedangkan norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus menerus, sampai peraturan perundang-undangan itu dicabut atau diganti dengan yang lain.

Dari segi bentuk isinya, norma hukum tertulis dapat dibedakan antara norma hukum tunggal dan berpasangan. Norma hukum tunggal adalah norma hukum yang berisi satu aturan, sedangkan norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang berisi lebih dari satu aturan, yang terdiri dari primer dan sekunder.

Dari segi sifatnya, norma hukum tertulis dapat dibedakan antara regeling dan beschikking. Regeling adalah norma hukum yang bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus. Sedangkan Beschikking adalah norma hukum yang bersifat individual, konkrit dan sekali selesai.

Dari segi sistemnya, norma hukum tertulis dibedakan antara orma statik dan dinamik. Sistem norma statik atau nomostatic adalah suatu sistem yang melihat pada isinya. Sedangkan sistem norma dinamik atau nomodynamics adalah sistem norma yang melihat pada daya berlaku, cara pembentukan dan penghapusannya. Dinamika norma dibedakan antara vertikal dan horizontal. Dinamika norma vertikal merupakan dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam suatu hierarkhi. Sedangkan dinamika norma horizontal bergerak ke samping karena adanya suatu analogi.

4. Bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dapat dikatakan peraturan perundang-undangan yang baik?

Jawab:

Menurut Bagir Manan, suatu peraturan perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal, yakni:

a. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalny, undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daserhdan sebagainya harus pula menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya kalau UUD 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentuk undang-undan ha itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perndang-undangan tingkat lebih bawah.

b. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca: peraturan perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.

c. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: peraturan perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yan melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.

5. Sebutkan dan terangkan materi muatan peraturan perundang-undangan!

Jawab:

Materi muatan yang harus diatur dengan UUD meliputi:

1. hak asasi manusia,
2. hak dan kewajiban warga negara,
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuuasaan negara,
4. wilayah negara dan pembagian daerah,
5. kewarganegaraan dan kependudukan,
6. keuangan negara

Materi yang diatur oleh UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuuan UUD, dan berisi ketentuan yang diperintahkan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU. Materi muatan Peraturan Pemerrintah Pengganti Undang-undang sama degan materi muatan UUU.

Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Uu sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan sebagimana mestinya adalah materi muatan yang diatur dalam Peraturan pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.

Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sesuai dengan kedudukan Presiden menurut UUD 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP baik secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

Materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.

Materi muatan peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urrusan desa atau yang setingkat serta pejabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

6. Bagaimana asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik?.

Jawab:

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

· kejelasan tujuan;

· kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

· kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

· dapat dilaksanakan;

· kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan

· keterbukaan.

Yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembenetukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan peerundang-undangan. Yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secarra filosofis, yuridis mauupun sosiologis. Yang dimaksud dengan asas kedayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Yang dimaksud degan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-uundangan, sistematika dan pilihan kata atau termonologi, serta bahasa hukuumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturran perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perrundang-undangan.

7. Bagaimana hirarkhi peraturan perundang-undangan Indonesia?

Jawab:

Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan tersusun dalam suatu susunan yang bertingkat, seperti piramida, yang merupakan ‘sokoguru’ sistem hukum nasional.

Hal ini ditegaskan oleh Padmo Wahjono bahwa “ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara dicerminkan ataupun dipedomani oleh suatu pertingkatan hukum, baik mengenai bentuk maupun isi, di mana yang lebih tinggi kedudukannya dalam pertingkatan menentukan arahnya dan yang didukung oleh yang lebih rendah kedudukannya dalam pertingkatan tersebut. Ini merupakan ‘sokoguru’ suatu sistem hukum nasional dalam zaman modern ini”

Hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang Undang Dasar Negara Kesatuan republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah

8. Apa yang dimaksud dengan Naskah Akademis?

Jawab:

Perpres Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 1 Butir 7 menyebutkan bahwa: “Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang”.

Jimly Asshiddiqqie membedakan antara Naskah Akademis, Naskah politis dan Naskah hokum sebagai berikut:

a. Naskah Akademis.

Sebelum resmi disahkan menjadi undang-undang, norma-norma hukum yang terkandung di dalamnya disusun dalam bentuk suatu naskah rancangan undang-undang. Rancangan atau draft undang-undang itu dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu (i) rancangan yang bersifat akademik atau biasa disebut sebagai naskah akademis (academic draft), (ii) rancangan yang bersifat politik yang dapat disebut sebagai Naskah politik. Rancangan ini baru mengikat secara politik bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembahasannya, dan (iii) rancangan yang sudah bernilai juridis yang dapat dinamakan sebagai Naskah Juridis.

Dari segi bentuk dan isinya, rancangan undang-undang sebagai naskah akademis (academic draft) itu jelas beda dari rancangan undang-undang yang sudah resmi. Bentuknya tidak harus sama dengan bentuk atau format rancangan undang-undang yang sudah resmi dibahas di DPR. Perumusan norma hukum yang menjadi isinya juga masih dilengkapi, misalnya, dengan alternatif perumusan-perumusan tertentu dengan dilengkapi argumentsi dan data-data pendukung. Kadang-kadang, ada pula naskah akademis rancangan suatu undang-undang yang masih ditulis dengan catatan-catatan kaki atau footnotes tertentu seperti kebiasaan dalam penulisan makalah-makah ilmiah.

Naskah rancangan akademis undang-undang disusun sebagai hasil kegiatan penelitian yang bersifat akademis sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, obyektif, dan impersonal. Karena itu, pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakanginya, tentulah bersifat ide-ide normatif yang mengandung kebenaran ilmiah dan diharapkan terbebas dari kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi atau kelompok, kepentingan politik golongan, kepentingan politik kepartaian, dan sebagainya. Sudah tentu, pandangan-pandangan yang bersifat akademis kadang-kadang juga hanya mewakili satu mazhab pemikiran tertentu saja, yang belum tentu diterima oleh mazhab pemikiran yang lain yang sama-sama hidup di dunia akademis.

Dalam hal terkait dengan ragam pendapat akademis seperti itu, kadang-kadang rancangan akademis juga menawarkan alternatif rumusan normatif secara apa adanya, sehingga cara perumusannya belum bersifat final dan secara mutlak meawarkan satu jalan pikiran saja. Artinya, apabila terdapat beberapa kemungkinan gagasan normatif, para perumus rancangan akademik harus dapat megambarkan adanya berbagai alternatif rumusan yang mungkin dipilih oleh pemegang otoritas politik atas rancangan undang-undang itu. Oleh karena itulah, status naskah rancangan akademis atau academic draft ini hrus dibedakan dari pengertian naskah rancangan politik atau political draft.

Adanya rancangan atau naskah akademis dalam tiap perancangan undang-undang dapat dikatakan sangat penting untuk memberikan gambaran mengenai hasil penelitian ilmiah yang mendasari usul rancangan setiap undang-undang yankelak akan diajukan dan dibahas di DPR. Dengan draft akademis ini, dapat diperlihatkan bahwa rancangan undang-undang yang bersangkutan tidak lah disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak, atau karena permikiran yang tidak mendalam. Bagaimanapun juga, pembentukan suatu undang-undang menyangkut kepentingan rakyat banyak atau kadang-kadang berkaitan dengan kepentingan seluruh rakyat. Apalagi, undang-undang dimaksud akan menjadi norma hukum yang mengikat untuk umum. Oleh karena itu, sudah seharusnya bahwa setiap norma hukum yang hendak dituangkan dalam bentuk rancangan undang-undang demikian itu benar-benar telah disusun berdasarkan hasil pemikiran yang matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk kepentingan umum (public interests), bukan kepentingan pribadi atau golongan.

Rancangan undang-undang itu masih terus dapat dikatakan bersifat akademis sampai menjelang dikirimkannya rancang undang-undang itu secara resmi dengan surat Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, pemerintah sendiri masih dapat melakukan perubahan-perubahan tertentu atas rancangan undang-undang itu sebelum dikirimkan secara resmi kepada dewan Perwakilan rakyat. Selama proses perubahan tersebut masih dapat dilakukan di lingkungan pemerintah, maka status draft rancangan undang-undang itu masih dapat disebut sebagai naskah akademis (academic draft), meskipun format atau bentuknya sudah berubah dari bentuk aslinya sebagai rancangan akademis. Misalnya, setelah naskah rancangan undang-undang difinalkan, tetapi belum dikirim secara resmi dengan surat pengantar Presiden kepada pimpinan DPR, maka perumusan rancangan undang-undang itu masih berada di dalam lingkup tanggung jawab internal pemerintah. Selama belum dikirim secara resmi, pemerintah tetap dapat mempertimbangan berbag kemungkinan penyempuraan kembali ats rumusan rancangan undang-undang itu sebagai hasil kerja tim antar departemen.

Pada tingkat ini, baik bentuk maupun isi rancangan undang-undang itu sudah benar-benar sudah menjadi rancangan undang-undang yang siap untuk diajukan kepada DPR. Akan tetapi, oleh karena belum secara resmi diajukan, maka statusnya tetap dapat disebut sebagai rancangan akademis atau setidak-tidaknya belum menjadi naskah rancangan politik (political dreaft) yang resmi. Mungkin sekali, jenis rancangan undang-undang yang sudah final tetapi belum resmi diajukan ini sebaiknya dibedakan saja statusnya dari naskah akdemis dalam arti yang lazim. Hal yang sama, misalnya, dapat pula terjadi dengan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR atupun ya diajukan oleh DPR.

Rancangan undang-undang yang disusun dan dipersiapkan oleh Badan Legislsi DPR ataupun yang diajukan atas prakarsa Dewan Perwakilan Daerah, baru dapat dikatakan resmi menjadi rancangan undang-undang apabila telah disetujui oleh DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Sebelum itu, misalnya, ketika masih didiskusikan di lingkungan internal Badan Legislasi DPR, maka status rancangan undang-undangan dimaksud belum bersifat resmi. Padahal, bentuk dan isinya mungkin saja sudah sama saja dengan rancangan undang-undang yang sudah resmi. Oleh karena itu, rancangan akademis itu dapat dibedakan antara naskah akademis pertama (the first academic draft) dan naskah aakademis kedua (the second academic draft). Yang terakhir ini sebenarnya sudah menyerupai rancangan politik tetapi belum ditetapkan menjadi rancangan undang-undang yang resmi, sehingga masih dapat dinamakan sebagai naskah akademis kedua.

b. Naskah Politis

Setelah naskah akademis rancangan undang-undang (academic draft) itu diputuskan oleh pemegang otoritas politik menjadi rancangan undang-undang yang resmi, maka sejak itu berubah lah status rancangan undang-undang itu menjadi naskah politik (political draft). Pengambilan keputusan oleh pemegang kewengan untuk menentukan diterimanya rancangan undang-undang itu sebagai rancangan undang-undang yang bersifat resmi didasarkan atas sikap politik tertentu. Misalnya, dalam rancangan akademis masih terdapat alternatif perumusan mengenai sesuatu ketentuan tertentu karena adanya perbedaan mahzab akademis tertentu. Akan tetapi, setelah ditetapkan menjadi rancangan undang-undang yang bersifat resmi, alternatif rumusan itu sudah tidak boleh ada dalam perumusan rancangan. Oleh karena itu, sudah ada sikap politik yang menentukan diterimanya rancangan undang-undang itu menjadi rancangan yang resmi.

Jika rancangan undang-undang itu datang dari Presiden, maka sejak Presiden secara resmi mengirimkan rancangan undang-undang itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan surat resmi yang biasa disebut dengan ‘ampres’ (amanat Presiden), maka sejak saat itu, status rancangan undang-undang itu menjadi resmi sebagai naskah politik (political draft). Sebaliknya, jika rancangan undang-undang itu berasal dari inisiatif DPR, maka rancangan itu menjadi resmi sebagai naskah politik (political draft) yaitu sejak Pimpinan DPR-RI mengirimkan rancangan itu secara resmi kepada Presiden.

Sejak rancangan itu resmi masuk dalam agenda pembentukan undang-undang, maka statusnya sudah berubah menjadi naskah politik (politcal draft) yang tidak dapat lagi diubah kecuali melalui mekanisme pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR-RI. Pada pokoknya, dalam tenggang waktu antara penerimaan rancangan undang-undang itu sebagai naskah politik sampai ke tahap pengesahannya secara materiil, yaitu ketika rancangan undang-undang itu dalam rapat paripurna DPR-RI dinyatakan telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden/Pemerintah untuk disahkan menjadi undang-undang. Selama masa tersebut, rancangan undang-undang itu berada dalam proses pembahasan bersam oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan selama masa itu pula statusnya dapat disebut sebagai naskah politik (political draft) seperti dimaksud di atas.

Baik rancangan undang-undang yang datang dari inisiatif Presiden/ Pemerintah ataupun rancngan undang-undang yang datang dari inisiatif DPR, harus dibahas secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan di DPR. Kedua tahap pembicaraan itu terdiri atas:

1) Pembicaraan TngkatI dalam rapat Komisi, Rapat Gabung Komisi, Rapat Badan Legislasi, rapat Panitia Anggaran, aau Rapat Paniia Khusus.

2) Pembicaraan tingkat II dalam Rapat Paripurna.

Urutan kegiatan dalam rangka pembicaraan Tingkat I yang dimaksud di atas, menurut ketentuan Pasal 137 Peraturan Tata tertib DPR-RI, mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1) Tanggapan atas Usul Rancangan:

a. Pandangan dan pendapat fraksi-fraksi atau pandangan dan pendapat fraksi-fraksi dan DPD apabila Rancangan Undang Undang berkaitan dengan kewenangan DPD, untuk Rancangan Undang Undang yang berasal dari Presiden; atau

b. Pandangan dan pendapat Presiden atau pandangan dan pendapat Presiden beserta DPD apabila Rancangan Undang Undang dimaksud berkaitan dengan kewenangan DPR, untuk Rancangan Undang Undang yang berasal dari DPR.

2) Tanggapan Presiden atas Pandangan dan Pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf a anga 1) atau tangapa Pimpinan alat kelengkapa DPR ya membahas rancangan Undang Undangterhadp pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pad huruf a angka 2).

3) Pembahsan Rancangan Undang Undang oleh DPR dan Presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Dalam pembicaraan Tingkat I, dapat diadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU); dan dapt pula diundang pimpinan Lembaga Negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembga neara atau lembaga lain; dan/atau diadakan rapat intern. Sedangkan pembicaraan TngkatII meliputi pengn keputusn dalam Rapat Paripurna DPR yang di dahului oleh (a) laporan hasil pembicaraan tingkat I; (b) pendapat Akhir fraksi; dan (c) Pendapat Akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri yang mewakilinya.

Jika Rancangan Undang Undang tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Sebaliknya, jika rancangan undang-undang mendapat persetujuan bersama, Pimpinan rapat Paripurna DPR menetapkan bahwa Rancangan Undang Undang itu telah mendapat persetujuan bersma antara DPR dan Presiden untuk dishkan menjadi undang-undang. Pada pokoknya penetapan ini dapat dianggap sebagai pengesahan materiel atas rancangan undang-undag itu menjadi undang-und aam arti matriel (wet in materiele zin), dan sejak itu statusnya berubah tidak lagi merupakan naskah politik (political draft) tetapi sudah menjadi naskah hukum.

c. Naskah Hukum

Setelah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR sebagai tanda telah dicapainya persetujuan bersama atas Rancangan Undang-Undang itu untuk disahkan menjadi Unda Undang, maka sejak itu isi rancngan undang-undang yang bersangkutn tidak boleh lagi diubah termasuk oleh Presiden. Sekiranya pun Presiden tidak bersedia mengesahkan rancangan undang-undang itu, meka seperti ditentukan oleh Pasal 20 ayt (5) UUD 1945 dalam waktu 30 hari semenjak dicapainya persetujuan bersama itu di forum Rapat Paripurna DPR-RI, maka rncangan undang-undang itu sah berlaku sebaai undang-undang, dan wajib diundangkan oleh menteri yang memegang tanggungjawab atas tindakan administrsi pengundangan.

Namun, naskah rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama itutentlah harus diketik ulang di Sekretariat Negara sebelum disahkan oleh Presiden dengan cara membubuhkan tanda tngan di bagian akhir naskah undang-undang itu. Dalam hubungan ini dapat imbul masalah dalam pekan ulang itu. Pertama, hasil pengetikan ulang itu dapat berbeda dari naskah asli rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama di forum DPR. Kedua, dalam rangka pengetikan ulang itu dapat saja ditemukan hal-hal yang ersifat ‘clerical error’ yang secara hukum tidak mempunyai arti dan pengarh apa-apa atau hal-hal yang merupakan kekeliruan dalam perumusan redaksional tetapi secara hukum dapat menimbulkan persoalan yang erius. Dalam hal demikian, apakah pemerinth harus menutup mata saja atas klemahan yang ditemukan itu atau kekeliruan semacam itu dapat dikoreksi atau diperbaiki sebagaimana mestinya?

Misalnya, ada undang-undang yang salah satu pasalnya tertulis “Pasal 25 ayat (1)’. Padahal dalam rumusan isi pasal itu tidak terdapat ayat sama sekali. Kesalahan dalam pengetikan kata “ayat (1)’ itu terjadi, karena sebelumnya pasaliu berisi 2 ayat, tetapi ayat (2) nya dicoret karena tidak mendapat persetujuan. Ketika diketik kembali oleh petugas, kata “aya (1)’ masih tetap muncul dan luput dari koreksi. Selain itu, dapat pula dicontohkan mengenai adanya rancangan undang-undang yang sudah disahkan sebagaimana mestinya, tetapi ternyata dalam konsideran mengingatnya, terdapat kutipan pasal UUD 1945 yang merujuk kepada nomor lama, yaitu nomor pasal sebelum UUD 1945 diubah. Kesalahan seperti ini tentu dapat dikatakan bersifat sepele atau menyangkut ‘clerical error’. Akan tetapi, jika dikemudian hari dipersoalkan, maka hal ini dapat menjadi sangat serius dan dijadikan alasan untuk menuntut pembatlannyakembli sebagai undang-undang karena dinilai bertentngan dengan UUD 1945.

Pada prinsipnya, naskah rancangan undang-undang yang sudah mendapat persetujuan bersama u secara materiel dapat dianggap sudah menjadi undang-undang (wet in materiele zin). Yang belum dilakukan hanyalah tindakan formil untuk pengesahannya oleh Presiden dan pengundangannya oleh pejabat yang ditasi oleh Presiden untuk itu.

Jarak waktu antr pengsahan materiel oleh DPR-RI dan pengesahan foril oleh Presiden sang relatif dan tergantung kepada kesiapan staf di Sekretariat Negara dan kesiapan Presiden sendir untuk mengesahkannya. Presiden dapat saja mengesahkan rancangan undang-undang itu menjadi undang-undang pada hari yang sama dengan hari diterimanya naskah rancangan undang-undang itu dari Pimpinan DPR atau pada tanggal yang berbeda. Namun, sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945, maka selambat-lambatnya Presiden harus sudah mengesahkan rancangan undang-undang itu menjadi undang-undang dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang itu mendapat persetujuan bersama.

Di samping itu, menurut Pasal 123 Peraturan Tata Tertib DPR, rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, Rancangan Undang Undang yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden untuk meminta penjelasan. Dalam hal rancangan undang-undang itu tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 hari sejak persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan sebagaimana mestinya. Dalam masa-masa di antara tindakan pengsahan materiel oleh DPR dan tindakan pengeahan formil oleh Presiden itulah status hukum rancangan undang-undang itu dapat dikatakan sudah menjadi naskah hukum ya secara materiel dapat dilihat sebagai ‘wet in materiele zin’.

9. Apa yang dimaksud dengan Prolegnas (Program legislasi Nasional)?

Jawab:

Secara yuridis pengertian Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.

Prolegnas dalam pengertian umum adalah program perencanaan nasional di bidang perundang-undangan. Artinya, Prolegnas sesungguhnya merupakan satu proses yang terjadi sebelum pembentukan undang-undang atau dapat dikatakan sebagai “pra-pembentukan peraturan perundang-undangan”.

10. Bagaimana ragam bahasa perundang-undangan di Indonesia?

Jawab:

Bahasa peraturan perundang-undangan menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar merupakan ragam bahasa Indonesia, dan karena itu tunduk kepada kaidah tata bahasa indonesia, baik yang menyangkut aturan pembentukan kata maupun yang bertalian dengan penyusunan kalimat, serta yang berhubungan dengan cara pengejaannya. Bahasa peraturan perundang-undangan juga mempunyai corak gaya yang khusus, yang dicirikan oleh kejelasan makna, kelugasan (zakelijheid), dan keresmian.

Mulai tahun 1972, political will pemerintah mengarah pada pembakuan bahasa Indonesia yang menyeluruh. Untuk itu semua tulisan bidang apapun, termasuk bidang hukum dan lebih khusus lagi pada perundang-undangan, harus tunduk pada aturan ejaan yang disempurnakan.

Perkembangan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan secara formal dimulai tahun 1972. Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1975 dan tahun 1989. Political will pemerintah mengarah pada pembakuan bahasa Indonesia yang menyeluruh. Untuk itu semua tulisan bidang apapun, termasuk bidang hukum dan lebih khusus lagi bidang perundang-undangan, harus tunduk pada aturan ejaan yang disemurnakan yakni berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972; dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/U/1975, tanggal 27 Agustus 1975, serta Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0543a/U/1987 tanggal 9 September 1989 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.

---ooo000ooo---

SELAMAT BEKERJA